Asumsi
Waktu gue nulis ini, gue ada di RSUD, nunggu antrian buat kontrol pasca operasi gigi bungsu.
Akhirnya dia ke dokter mata, karena mungkin kaca mata dia udah nggak pas minusnya. Dia juga ke gigi karena dia pikir, giginya ada yang bolong sampe dia pusing begitu.
Temen- temen yang lain pas gue kabarin keadaan dia, membenarkan tindakan temen gue yang ke dokter spesialis lain bukan neurolog karena merasa, "ah masih muda, sakit apa sih paling?"
Gue waktu itu baru selesai operasi tumor payudara, yang alhamdulillah jinak. Dan gue bilang gue nggak setuju. Gue tekankan berkali- kali, "lu harus rontgen kalau perlu MRI, lu harus cek kepala elo karena yang sakit itu."
Akhirnya dengan segala keberanian dan waktu untuk berpikir, dia cek.
Result keluar, tumor otak.
Sakit hati gue.
Nggak ada yang nyangka atau berpikir semalang itu nasibnya, tapi sebagai sesama penderita tumor gue udah curiga. Sakitnya nggak normal kaya pusing orang biasa.
Nggak lama setelah itu, temen gue operasi, operasinya berhasil. Tapi temen gue nggak sempet sembuh total. He's gone.
Gue nangis kejer.
Bahaya asumsi oleh kita, manusia biasa yang nggak paham medis, mungkin bisa mengurangi jatah waktu hidup. Dan bagi gue, orang- orang sekitar mestinya aware dengan sekitarnya.
Kalau sakit, jangan disepelekan, tapi ga lantas lu langsung cari symptoms di google karena google bukan dokter. Dia provide informasi, tapi nggak bisa periksa tubuh dan melihat gejala elu. Yakin deh, abis baca dan cari symptoms, lu stres dan parno.
Paling bener, sakit langsung ke dokter.
Komentar
Posting Komentar