Kamu harus jadi pelayan suami
Kata itu terlontar dari seseorang kepada saya, setelah sebelumnya dia bilang mau saya sama anaknya, syukur bisa mengubah anaknya yang hidupnya nyaman terus.
Di bawahnya dia bilang, bahwa kodrat saya bukan untuk jadi wanita karir, katanya, saya harus jadi pelayan suami dan anak- anak.
Lah gimana yak, kontradiktif.
Maksudnya baik, saya tahu...
Tapi, saya memutuskan untuk mengakhirinya karena hidup kami bagai langit dan bumi. Saya tangguh karena terbentuk keadaan. Anak ini, yah, well, mungkin hidupnya sangat nyaman, hingga kami ga bisa paham satu sama lain, dan saya maklum.
Kadang saya mikir, ada orang muncul entah dari mana dan dikte saya harus jadi apa. Like, permisi om, tante, sodara- sodara sekalian, ini hidup punya saya, saya punya hak absolut untuk memutuskan apa yang mau saya lakukan.
By the way, "pelayan" itu kaya mau cari embak yah?
Kalau cari yang kaya begitu, jujur saya ga pinter bebenah, jahit, masak, dan lain sebagainya. Papa saya ga pernah mau saya belajar itu sejak kecil, jadilah saya baru bisa ketika agak besar. Kemampuan masak juga standar.
Mode saya survival bukan pleasure others. Namun bukan berarti saya nggak bisa urus rumah tangga. Saat ini saya tinggal cuma berdua, jadi mau nggak mau ya rumah dua tingkat harus gantian beberes, dan lain sebagainya. Saya juga udah berpengalaman urus orang tua sakit dan bayi dengan ponakan yang seabrek- abrek. Jadi no problem, hal kaya gitu bisa dipelajari, bukan sesuatu yang baru, bagi saya.
The problem is, marriage life isn't that beautiful like disney always potrays. I've been through the worst, do you? Can you? Will you survive? Because so far, I do.
Sementara saya memberi gambaran betapa nikah itu bukan sesuatu yang mudah, saya dibilang, "SOTOY!".
Well, first of all, RUDE!
Second of all, saya ini temenan sama yang hidupnya lebih berat dari saya. Ada yang gagal menikah- banyak, ada yang ga bahagia dengan statusnya, dan ada juga yang mati- matian memperlihatkan kebahagiaan padahal kenyataan berbanding sebaliknya.
Jadi, ya saya tahu kenyataannya.
Saya gak percaya masih banyak yang berpikir menikah adalah sumber kebahagiaan. Ya gak selalu, bambang. Naif sekali sih. 🤣
Ini perkaranya buibu, anak disetting supaya ga maen jauh- jauh dan selalu membutuhkan orang tuanya. Sehingga ke-naif-an, keterikatan emosi, kebutuhan akan keberadaan, dan ketergantungan itu nggak hilang sampai anaknya tua. Ketika udah umur nikah, dan mikirnya masih nikah= bahagia, jadi ketika ada masalah bisa- bisa malah lari ke orang tua.
ITU. SALAH. BESAR.
Pernah diceritain, ada suami yang nggak dimasakin, lari ke mamah, ngadu. Mamahnya jadi sebel sama mantu, terus aja gitu sampe ladang gandum berubah jadi koko crunch.
By the way mengingat yang kaya gini, sahabat saya, Osmond pernah bilang, "gila kali ya umur udah mau 30 tahun masih aja bergantung sama orang tua." Sambil ngopi dan menceritakan teman- teman kami yang harus minta izin buat pergi- pergi, atau minta approval buat melakukan sesuatu. Seakan you are not own your life.
Keep in mind, pamit dan minta izin beda. Pamit sekedar notifikasi, minta izin itu butuh permission, boleh atau tidak. So far, jika udah kepala 3, kayanya aneh aja kalau masih begitu. Apalagi ngadu- ngadu biar dibelain. Ya mon maap, his-story sama history beda. 🤣
Seyogyanya ketika sudah bisa nyari uang sendiri kita harus mandiri tanpa orang tua, you own your life dengan segala konsekuensinya.
Yah tapi kan beda- beda ya orang mah ya dibesarkan dengan apa dan bagaimana. Saya emang luput dari pelajaran skill keputrian dari si mbah karena perbedaan adat istiadat si mbah dan papa saya. Tapi yang dia selalu bilang bahwa saya harus mandiri, bergantung hanya kepada diri sendiri, jangan mengharapkan suami (belakangan banyak istri orang menganjurkan hal yang sama ke saya), dan kerja keras (ini kemudian saya ubah menjadi kerja cerdas).
Maka dengan orang yang seperti saya ini, sangat salah jika mengharapkan saya tuh kaya harus jadi embak.
Pernikahan itu hubungan, saling melayani dan dilayani. Bukan satunya jadi raja terus dan yang lain terus- terusan melayani.
Yang esensial dan murni tak terbantahkan, bahwa kodratnya perempuan adalah hamil dan menyusui. Simply because, man has no womb.
Komentar
Posting Komentar