Saya cuma setengah Jawa
Waktu kecil saya sering dibilang Cina oleh sepupu-sepupu saya karena sifat pelit, tidak mau berbagi (ye namanya bocah). Makin besar saya sadar saya beneran Cina. Nyai (nenek dalam bahasa Bangka) saya adalah turunan tionghoa. Jadi semua turunannya mewarisi gen tersebut meskipun tidak semua. Saya tidak mirip dengan sepupu-sepupu saya dari sisi mama, tapi saya sangat mirip dengan sepupu dari sisi Papa.
Ketika usia saya menuju 28 tahun, faktor genetik semakin terlihat. Kulit saya jadi lebih terang dan Cina saya makin terpampang nyata. Wajah oval, idung gede (turunan sih, haha), mata sipit. Hanya dua warisan fisik genetika dari mama, yaitu tubuh yang pendek dan rambut ikal.
Mama saya asli suku Jawa, sementara papa saya Bangka - Tionghoa, secara fisik dia Metal, alias melayu total. Saya nggak bisa bahasa Jawa juga bahasa Bangka, saya hanya paham tapi tidak bisa membalas. Saya dibesarkan dengan bahasa Indonesia, sekolah di Bogor bikin saya juga ngerti bahasa Sunda, tapi tetep nggak bisa ngomong dengan benar. Si mbah, di lain sisi hanya mengajarkan hal-hal mengenai tata krama, tapi bukan bahasa Jawa. Bahasa Bangka apalagi, biar saya ke Bangka mereka pun ngomong sama saya pake Bahasa Indonesia.
Si Mbah punya kerabat yang saya panggil Eyang. Suatu hari kami sekeluarga main ke rumah Eyang, begitu melihat saya dan adik-adik saya, dia bilang sama si mbah, "Pluk (Cempluk, panggilan Eyang ke Mbah), ini anak sebrang, yo, bukan wong Jowo. Beda ini". Mbah, yang selalu mendengarkan Eyang, menyimpulkan bahwa saya dan adik-adik berbeda dari cucu-cucunya yang lain terutama dari cara meng-handle. Tapi toh mbah nggak beda-bedain kami. Tetep aja sama perlakuannya. Mbah menjadi figur yang demokratis bagi saya sampai saat ini. Eyang pun sama, nggak bedain kami semua. Saya hidup di keluarga yang demoktratis, nggak beda-bedain.
Yang saya tidak tahu, bahwa menjadi tidak Jawa sepenuhnya adalah sebuah cacat bagi sebagian orang. Jawa adalah suku terbesar di Indonesia dengan jumlah 40,22 persen dari total populasi. Hingga, menjadi tidak murni Jawa adalah masalah bagi beberapa orang yang berpegang teguh pada falsafah bibit, bebet, bobot. Saya nggak akan lolos di bibit, bibit saya ga murni, cuma half blood, yang kalo ketemu Voldemort langsung di Avada Kedavra. Dengan kenyataan ini, berbagai diskriminasi sudah banyak saya dapatkan ketika lulus SMA.
Ada salah satu orang tua mantan pacar saya yang bilang saya ini keras hati, dengan hanya melihat foto saya. Kami belum pernah bertemu, boro-boro ngobrol atau berantem. Terus dibilang gitu, kan taek.
Ada juga teman saya yang merasa sangat Jawa dan melihat saya sebelah mata, "Ah, lo kan cuma setengah, mana paham sih beginian". Yang dia tidak tahu, saya diasuh si mbah yang berasal dari Jawa Tengah, sementara dia dari Jawa Timur, jadi ada perbedaan dalam adat-adatnya.
Belum lagi yang bilang, "halah orang Bangka, Mama nggak suka!".
Men, gue ke Bangka sama jari gue aja banyakan jari gue.
Mana bisa gue milih gue lahir dari siapa dan berasal dari mana. Ini real lyfe bukan The Sims, gengs.
Tapi, ya, ada kok yang menerima saya apa adanya dan adanya apa tanpa melihat saya siapa, turunan mana dan lain sebagainya. Teman saya yang nerima saya dengan berbagai celah bolong yang saya punya juga keluarga saya dari sisi mama, yang nggak peduli juga saya produk campuran. Keluarga Papa yang persetan sama itu semua. Dan sahabat saya, yang datang dari berbagai etnis, ras dan bahasa. Orang-orang pinggiran yang terkena stereotip juga teraniaya prasangka. Yang budayanya terlalu warna-warni hingga membaur dengan sesamanya. Atau yang nggak peduli dengan latar budaya dan hidup seperti impian John Lennon, Imagine all the people living life in peace.
Waktu kuliah ada mata kuliah bernama Komunikasi Budaya. Di sana saya belajar yang namanya Penyakit Budaya. Ya, ada, dan di Indonesia lagi ngtrend. Ada yang namanya Prasangka,menurut John (1981), prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Ada lagi yang disebut Stereotipe, merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnis atau ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal.
Rasisme, Diskriminasi dan Scape Goat juga termasuk di dalamnya.
Marianne Katoppo, menggambarkan dengan apik penyakit budaya ini dalam novel, Raumanen. Saking sukanya sama novel ini, kejadian mirip pun terjadi pada saya. HAHAHAHAHAHA.
Ketika usia saya menuju 28 tahun, faktor genetik semakin terlihat. Kulit saya jadi lebih terang dan Cina saya makin terpampang nyata. Wajah oval, idung gede (turunan sih, haha), mata sipit. Hanya dua warisan fisik genetika dari mama, yaitu tubuh yang pendek dan rambut ikal.
Mama saya asli suku Jawa, sementara papa saya Bangka - Tionghoa, secara fisik dia Metal, alias melayu total. Saya nggak bisa bahasa Jawa juga bahasa Bangka, saya hanya paham tapi tidak bisa membalas. Saya dibesarkan dengan bahasa Indonesia, sekolah di Bogor bikin saya juga ngerti bahasa Sunda, tapi tetep nggak bisa ngomong dengan benar. Si mbah, di lain sisi hanya mengajarkan hal-hal mengenai tata krama, tapi bukan bahasa Jawa. Bahasa Bangka apalagi, biar saya ke Bangka mereka pun ngomong sama saya pake Bahasa Indonesia.
Si Mbah punya kerabat yang saya panggil Eyang. Suatu hari kami sekeluarga main ke rumah Eyang, begitu melihat saya dan adik-adik saya, dia bilang sama si mbah, "Pluk (Cempluk, panggilan Eyang ke Mbah), ini anak sebrang, yo, bukan wong Jowo. Beda ini". Mbah, yang selalu mendengarkan Eyang, menyimpulkan bahwa saya dan adik-adik berbeda dari cucu-cucunya yang lain terutama dari cara meng-handle. Tapi toh mbah nggak beda-bedain kami. Tetep aja sama perlakuannya. Mbah menjadi figur yang demokratis bagi saya sampai saat ini. Eyang pun sama, nggak bedain kami semua. Saya hidup di keluarga yang demoktratis, nggak beda-bedain.
Yang saya tidak tahu, bahwa menjadi tidak Jawa sepenuhnya adalah sebuah cacat bagi sebagian orang. Jawa adalah suku terbesar di Indonesia dengan jumlah 40,22 persen dari total populasi. Hingga, menjadi tidak murni Jawa adalah masalah bagi beberapa orang yang berpegang teguh pada falsafah bibit, bebet, bobot. Saya nggak akan lolos di bibit, bibit saya ga murni, cuma half blood, yang kalo ketemu Voldemort langsung di Avada Kedavra. Dengan kenyataan ini, berbagai diskriminasi sudah banyak saya dapatkan ketika lulus SMA.
Ada salah satu orang tua mantan pacar saya yang bilang saya ini keras hati, dengan hanya melihat foto saya. Kami belum pernah bertemu, boro-boro ngobrol atau berantem. Terus dibilang gitu, kan taek.
Ada juga teman saya yang merasa sangat Jawa dan melihat saya sebelah mata, "Ah, lo kan cuma setengah, mana paham sih beginian". Yang dia tidak tahu, saya diasuh si mbah yang berasal dari Jawa Tengah, sementara dia dari Jawa Timur, jadi ada perbedaan dalam adat-adatnya.
Belum lagi yang bilang, "halah orang Bangka, Mama nggak suka!".
Men, gue ke Bangka sama jari gue aja banyakan jari gue.
Mana bisa gue milih gue lahir dari siapa dan berasal dari mana. Ini real lyfe bukan The Sims, gengs.
Tapi, ya, ada kok yang menerima saya apa adanya dan adanya apa tanpa melihat saya siapa, turunan mana dan lain sebagainya. Teman saya yang nerima saya dengan berbagai celah bolong yang saya punya juga keluarga saya dari sisi mama, yang nggak peduli juga saya produk campuran. Keluarga Papa yang persetan sama itu semua. Dan sahabat saya, yang datang dari berbagai etnis, ras dan bahasa. Orang-orang pinggiran yang terkena stereotip juga teraniaya prasangka. Yang budayanya terlalu warna-warni hingga membaur dengan sesamanya. Atau yang nggak peduli dengan latar budaya dan hidup seperti impian John Lennon, Imagine all the people living life in peace.
Waktu kuliah ada mata kuliah bernama Komunikasi Budaya. Di sana saya belajar yang namanya Penyakit Budaya. Ya, ada, dan di Indonesia lagi ngtrend. Ada yang namanya Prasangka,menurut John (1981), prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Ada lagi yang disebut Stereotipe, merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnis atau ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal.
Rasisme, Diskriminasi dan Scape Goat juga termasuk di dalamnya.
Marianne Katoppo, menggambarkan dengan apik penyakit budaya ini dalam novel, Raumanen. Saking sukanya sama novel ini, kejadian mirip pun terjadi pada saya. HAHAHAHAHAHA.
Tapi, apapun itu, saya ga bisa mengajukan keberatan kepada Tuhan atas apa yang sudah melekat dan menjadi bagian dari identitas saya. Entah menjadi setengah Jawa atau seperempat Cina, saya sih ngetawain mereka yang ngejudge tanpa pernah ngobrol langsung sama saya.
Ibu, saya bukan emoji yang bisa dibentuk sesuka hati. Saya juga udah cukup dewasa untuk tahu beberapa orang memang tidak cukup panjang akal dan demokratis untuk menerima perbedaan.
Saya cuma bisa berencana jika pada akhirnya Tuhan memberi saya rejeki untuk berkeluarga, semoga saya bisa mengajarkan anak-anak saya keberagaman dan demokrasi dalam hal apapun.
Cheers,
Saya yang cuma setengah Jawa
Komentar
Posting Komentar